Selasa, 09 Maret 2010

Sekilas Tentang Lurah Cempaka Baru


N a m a : M. Burhanuddin. A
Kelahiran : Gresik, 22 Oktober 1971
Pendidikan : S1
Jabatan : Lurah Cempaka Baru


Di Kelurahan Gunung Sahari Selatan, Burhan dikenal sebagai Lurah Rosela. Julukan itu melekat karena dialah yang memperkenalkan jenis tanaman berkhasiat itu pada warga. Burhan tidak hanya memperkenalkan. Tapi juga melakukan pembibitan untuk kemudian dibagikan pada warga yang berminat.
Percaya usaha Burhan untuk warga, pihak Stasiun Kereta Api Kemayoran meminjamkan sebidang tanah untuk dijadikan kebon bibit rosela dan jenis tanaman lainnya. Rosela tidak hanya bermanfaat untuk kesehatan, tapi juga bernilai ekonomi sangat tinggi, kata Burhan mengampanyekan program roselanisasi pada warganya.
Wirya, salah seorang tokoh warga yang juga merupakan Ketua RT, termasuk sangat rajin mendukung Burhan. Wirya bahkan berani menjamin pemasaran rosela jika warga panen. Wirya mengaku sudah punya calon pembeli di Glodok. Jika pengusaha di Glodok tidak terima, saya yang beli. Berapa banyak pun produksi rosela warga, saya siap membelinya, kata Wirya kepada Pelita.
Burhan, lurah yang menginginkan Gunung Sahari Selatan jadi \"Kampung Rosela di tengah kota, Oktober 2008, pindah ke Cempaka Baru menggantikan Sueb yang dipindah ke Kantor Kecamatan Gambir. Wirya seperti kehilangan daya dukung. Di lain pihak, tanaman rosela Wirya dan juga milik beberapa warga, diserang hama. Sebatang demi sebatang, rosela mati karena tidak ada yang tahu bagaimana mencegah serangan hama.
Rosela memang rentan terhadap serangan hama dan bukan jenis tanaman yang mampu bertahan terhadap segala cuaca, kata Burhan kemudian.
Sebagai penyuka tanaman dan pandai membuat pupuk, Burhan dinilai pas di Cempaka Baru. Kelurahan yang berada di kawasan Kemayoran ini merupakan wilayah pemukiman dengan kondisi lingkungan yang sudah mulai menghijau. Burhan diharapkan mampu berbuat lebih banyak terutama dari segi kebersihan, keindahan dan kesehatan lingkungan pemukimannya.
Tentang kesehatan lingkungan, Sylviana Murni, Walikota Jakarta Pusat, menunjuk saluran air atau selokan yang oleh warga (tidak hanya di Cempaka Baru) umumnya dijadikan semacam bak sampah alam. Apalagi bagi warga yang tinggal di pinggir kali. Sylvi meminta para lurahnya lebih sering mengontrol salurah air dan segera mengangkat sampah di kali. Tidak menunggu sampah menumpuk. Apalagi sampai menyumbat saluran baru disebersihkan.
Warga harus selalu diingatkan tentang bahaya banjir dan penyakit demam berdarah. Mengingatkan warga tidak perlu formal. Dalam kesempatan apa saja kan bisa ngobrol. Paling tidak, titipkan pesan melalui RW dan RT-RT. Lurah tidak boleh bosan mengingatkannya. Bahkan ketika warga mengurus KTP atau mengurus surat keterangan lainnya, tidak ada salahnya menanyakan : apakah warga sudah membuang sampah pada tempatnya?, tutur Sylvi.
Menyikapi harapan walikota, kini di Cempaka Baru Burhan sedang giat-giatnya memperkenalkan apa yang dia sebut dengan istilah SAMPOT dan KOMPOT.
Sampot adalah tempat sampah yang didesain mirip pot bunga. Selain berfungsi sebagai pot bunga, pot ini juga berfungsi mengolah sampah jadi kompos. Dengan katalain, pot ini memumuki sendiri tanaman yang ada di atas pot. Sedangkan kompot tidak lain adalah sebuah tempat mengolah sampah menjadi kompos. Kelebihannya, kompos atau pupuk yang dihasilnya bisa berupa pupuk kering maupun cair.
Melalui kompot dan sampot, Burhan berharap warga tidak perlu lagi repot mencari pupuk untuk tanaman mereka. Sampah bisa bermanfaat, kebersihan pun bisa terjaga. Tujuan berikutnya adalah lingkungan yang sehat sekaligus indah, katanya.
Burhan merupakan anak kedua dari tujuh bersaudara putera dari pasangan M. Anwar Irfan dan Nurul Huriyah. Anwar, sang ayah, meninggal ketika Burhan baru duduk di kelas II SD.
Sebagai janda dengan tujuh orang anak, bisa dibayangkan betapa beratnya beban Nurul. Perempuan ini harus pontang panting mencsri nafkah. Dia menghidupi anak-anaknya dengan berdagang kecil-kecilan karena ketiadaan modal. Almarhum suaminya tidak meninggalkan apa-apa. Modal usaha ludes untuk biaya rumah sakit ketika sang suami yang terkena kanker tulang itu masih dirawat.
Beban hidup yang berat itulah yang membuat Nurul mengikhlaskan Burhan dibawa Mansyur Yahya, sang kakek, ke Jakarta. Mansyur bukanlah orang berada. Orangtua ini hanya guru ngaji yang tinggal di Kampung Jawa, Pasar Minggu. Burhan disekolahkannya di SD 01 Jati Padang. Karena sempat beberapa bulan tidak sekolah, Burhan tetap masuk di kelas II, sementara kawan-kawannya di Gresik, sudah naik ke kelas III. Bisa dikatakan saya tidak naik kelas, ceritanya.
Ketika masih duduk di bangku SMP, Mansyur memberitahu bahwa dia tidak sanggup membiayai pendidikan Burhan hingga ke jenjang yang lebih tinggi. Maksud sang kakek, bila Burhan sudah tamat SMP, sebaiknya Burhan mencari pekerjaan saja.
Burhan paham maksud sang kakek. Ia mencari pekerjaan ketika masih duduk di bangku kelas III SMP. Dia bekerja di apotik di Jalan Bendi, di bilangan Tanah Kusir. Burhan tidak hanya bekerja. Tapi juga tinggal di apotik. Tugasnya membuka dan menutup apotik. Disaat-saat senggang, Burhan diajari membaca resep dokter dan meracik obat. Ini merupakan keuntungan bagi Burhan. Pagi dia sekolah, sore bekerja.
Dari bekerja di apotek itulah, Burhan bisa membiayai sekolah sendiri sampai tamat SMA. Ia sempat mendaftar di beberapa perguruan tinggi, tapi tidak lulus tes. Mau masuk perguruan tinggi swasta, terbentur biaya. Ia kemudian melamar di RS Fatmawati. Karena pandai membaca resep dokter dan meracik obat, Burhan diterima. Ia ditempatkan di bagian apotik rumah sakit itu.
Ketika bekerja di apotik itulah, pada tahun 1992, Burhan membaca sebuah pengumuman di suratkabar tentang penerimaan mahasiswa baru dengan ikatan dinas di IPDN. Ia pun mendaftar. Alhamdulillah, saya diterima. Saya memang mencari sekolah yang nggak bayar, kenang suami Indra Ningsih ini.(dimas adidaya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar